Sejarah
Desa Batuaji
Berbicara masalah sejarah adalah sesuatu
pemikiran yang mengacu pada masa lampau
oleh karenanya pemaparan dalam hal sejarah merupakan penyampaian peran tentang
apa-apa yang pernah terjadi pada masa lampau. Kalau kita soroti dari segi tujuan dalam hal
pemaparan sejarah adalah sebagai bandingan pada masa sekarang dan sebagai
cermin terhadap peristiwa masa yang akan datang. Dalam hal ini kita berbicara
sejarah yang lebih khusus yaitu Sejarah Desa.
Nama suatu desa atau wilayah umumnya
mempunyai makna tertentu yang dimaksudkan untuk mengenang suatu kejadian atau
hal-hal lain yang dianggap sebagai inpsirasi nama itu diberikan.
Pemberian nama desaatau suatu
wilayah khususnya di Bali berkaitan erat
dengan sejarah Raja-raja di jaman dahulu seperti yang sering dijumpai dalam
Babad, lontar ataupun Prasasti.
Sejarah Desa Batuaji yang
bersumber dari abad Pemerintahan Raja (ratu) Kerihin Tabanan yang berpusat pada
“Singa Sane Ulun Pangkung Tabanan “ dan diperjelas lagi dari beberapa sepuh
Desa, maka sejarah singkat Desa Batuaji dapat kami tulis dengan maksud agar
dikenal oleh genereasi penerus untuk selanjutnya dikembangkan sesuai dengan
data dan fakta yang ada. Secara singkat sejarah Desa Batuaji dapat diikuti pada
uraian berikut ini :
Bahwa Sejarah Desa Batuaji
dimulai dari usaha Raja Tabanan sedang melakukan upacara yadnya di Pura Luhur
Batu Karu dengan diiringi oleh para pepatih dan rakyat seluruhnya melaksanakan
upacara pada hari : Kamis umanis Dungulan.
Diceritakan bahwa upacara
menginjak satu bulan kurang satu hari, tepatnya pada hari Rabu Kliwon, Paang
pada saat menjelang malam (Nyaluk Samirana) bahwa Sang Prabu (Raja) tiba-tiba
melihat asap menjujung seperti tombak diselatan dari Pura Luhur Batu Karu. Sebetulnya kalau orang menyaksikan asap
tersebut sangat menyenangkan lagi pula indah dan mengesankan.
Kemudian dengan timbulnya asap
tersebut akhirnya Raja berpikir tentang
timbulnya asap ditengah-tengah hutan tersebut sudah tentu asap itu adalah
Ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan
yang Maha Esa, Baginda bergegas memanggil Patihnya dan bersabda
“ Paman Pasek Kebayan, Paman sekarang juga
saya utus bersama Paman Pasek Bendsesa dan Pasek Undagi untuk datang
membuktikan asap itu dan kalau memang bisa terbukti selanjutnya supaya paman
membukukan (Nyuratan )”
Begitu Sang Parabu ( Raja )
berkata kepada ketiga paman tersebut, seketika itu ketiga Paman sujud kehadapan
sang prabu :
“ Kalau
memang titah (perintah) Sang Baginda, Kami bertiga akan melaksanakannya “
Akhirnya berangkatlah ketiga pepatih
dengan sujud kehadapan sang prabu, memohon keselamatan sambil membawa Jumpere (
tempat tirta) berisi air dan bunga putih yang merupakan milik Sang Prabu menuju
timur dan dijumpai pohon-pohon yang rebah yang disebabkan oleh angin ribut.
Mengingat yang dijumpai pohon rebah
(bah-bahan) maka mereka berpikir dan berkata kalau nanti tempat ini
menjadi Desa, maka Desa tersebut diberi nama Desa Babahan.
Setelah selesai memohon
kehadapan Sinuhun, maka perjalanan dilanjutkan kearah selatan, kemudian mereka
menjumpai hutan yang sangat lebat (Tebal) dan dirasakan oleh ketiga Patih
tersebut bahwa tidak akan mungkin bisa menebangi hutan tersebut, maka
memohonlah kehadapan Hyang Prama Kawi ( Tuahn Yang Maha Esa) seketika itu pula
hutan menjadi lapang yang pada akhirnya kalau nanti menjadi Desa, Desa tersebut
diberi nama Desa Tebel yang sekarang disebut Desa Penebel.
Perjalanan terus dilanjutkan
kearah selatan dan dijumpai perbukitan (Munduk) Kembar seperti batas.mengingat
keduanya merupakan batas yang mereka saksikan maka Sang tiga beristirahat
melepaskan lelah sambil berpikir, akhirnya I Pasek Kebayan berkata kepada Sang
kalih (temannya berdua) :
“ Nah
adikku berdua, mengingat perbukitan (Munduk) yang kita saksikan ini seperti
batas, kalau nanti ada Desa yang menyebelahinya supaya perbukitan (Munduk) ini
menjadi batas dari pada Desa. “
Akhirnya lama kelamaan disebelah
perbukitan tersebut terdapat Desa dan Desa itu diberi Nama Desa Darma, dan
batas tersebut namanya batas Darma. Kemudian setelah selesai permohonan kepada
sasuwunan (Ida Sanghyang Widhi Wasa), Sang Tiga melanjutkan perjalanan yang
dilalui adalah perbukitan (Munduk ) yang disebalah barat dan belum begitu jauh
perjalanan maka tempat tirta tiba-tiba jatuh (Sangku Pelinggihne Ulung)
berserakan seperti merta. Melihat barang bawaannya jatuh, menjadi hilanglah
kesabarannya dan berlinang air mata (Nangis) mengingatkan pada dirinya tentang
nasibnya yang buruk, ingin rasanya kembali ke Pura Luhur namun baru meraka
ingin beranjak akhirnya bersabdalah Si
Nuhun kepada Sang Tiga, sebagai berikut :
“ Nah Paman utusan Bulan Jambe
bertiga, jangan hendaknya Paman menyesal (menangis) mengingat tugas yang
dibebankan, kami sudah memakluminya dan tetapkanlah pada pendirianmu.”
Setelah mendengarkan Sabda
dari Si Nuhun begitu seketika itu pula Sang Tiga Sujud Kehadapan Tuhan Yang
Maha Esa dengan permohonan segala apa yang menjadi tujuan semula semoga
berhasil dan selanjutnya kembali ketempat (Sangkung Ulung) sambil memohon
kehadapan Sang Si Nuhun supaya tempat jatuhnya Merta tersebut di jadikan sawah
dan Nama sawah tersebut adalah : “Sangku Ulung” Demikian pula ditempat sang
tiga menangis supaya nanti kalau ada Desa, Desa tersebut namannya Desa “Ngis.” Perjalanan
selanjutnya keselatan dan sampailah diperbatasan lalu berkatalah I Pasek Bayan kepada Sang kalih :
“Nah adikku berdua” sekarang satukan pikiran,
ternyata apa yang kita cari, sudah ada tanda bahwa atas Asung Wara Nugraha ada
Sanghyang Prama Kawi kepada kita Nah sebagai batas keharuman Asep selanjutnya
kalau ada nanti menjadi Desa, Desa tersebut dinamai Desa Selat ( dados batas
keharuman Asep ).
Selanjutnya Sang tiga
melanjutkan perjalanan dan sampailah Sang tiga pada tempat Asep tersebut,
ternyata dijumpainya Batu yang dijaga oleh Ular Putih (Ula Petak) dengan
menyemburkan api dan Asap. Batu tersebut berisi tulisan ( Ma Surat Batu Muda )
disebelahnya tumbuh Pohon Beringin.
Dengan bukti yang mereka
saksikan, kemudian berkata-katalah I
Pasek Kebayan dengan I Pasek Kalih sebagai berikut :
“ Nah sekarang adik berdua ,kakak sudah jelas dengan permasalahan
ini, inilah Batu yang utama, tempat Ida Sanghyang Widhi Wasa yang patut
disungsung seluruh umat manusia, untuk itu kita satukan pikiran, memohon kepada
Tuhan yang Maha Esa supaya tempat ini cepat menjadi Desa dan Desa tersebut
diberi Nama “Desa Batuaji” karena
Batu itu berisi tulisan”.
Setelah selesai permohonan
sang tiga, maka dibangun Palinggih (Pura) yang diberi Nama “ Sad Khayangan Buda
Batuaji.”
Diceritakan beberapa lama Sang
Tiga mendengar Suara Batu makuruwug disebelah timur yang menusuk perasaan ngeri
bagi yang menyaksikan,ternyata timbul sebuah Gunung dan kembali Sang Tiga
memohon kehidupan Si Nuhun supaya Gunung itu tidak jadi,lama-kelamaan Gunung
tersebut diberi Nama Bukit Buung.
Dengan sudah terkabulnya
permohonan Sang Tiga, kembali sang tiga mendengar suara air bah ( belabar agung
) Namun setelah disaksikan timbullah Danau,dan kembali Sang Tiga memohon,supaya
Danau tersebut dijadikan sawah dan sawah tersebut diberi Nama subak labak serta
Palinggih yang timbul seperti Ulun Danu dijadikan Panyungsungan subak.Pura
tersebut adalah Pura Manik Galik.
Beberapa saat sekembali Sang Tiga mendengarkan serta
merasakan Gempa (Linuh ), begitu
selesai peristiwa tersebut, timbulah air yang jernih seketika itu pula air
Danau menghilang, kemudian air yang timbul menyebabkan terjadinya sungai yang
diberi Nama Tukad Nusa (Enu berarti Yeh Tukad Se berarti Suci ). Kemudian
dengan timbulnya tukad itu, Sang Tiga Memohon supaya tempat itu diisi Pancoran
yang dijadikan Taman Beji dari Pura Manik Galih.
Mengingat hari sudah sore dan
nampaknya tidak ada lagi yang disaksikan, maka beristirahatlah Sang Tiga
ditempat setinggil dan berkatalah I Pasek Bayan dengan Sang Kalih.
“ Nah
Sekarang, segala permohonan sudah terkabul dan tujuan kita terpenuhi karena
titah Sang Prabu untuk kemudian apa yang kita saksikan supaya ditulis oleh
Paman Pasek Bendesa.”
Kemudian tempat menulis
tersebut ,dimohonkan kepada Si Nuhun kalau nati jadi Desa, Desa Tersebut diberi
Nama Nulisan dan dibangun Palinggih yang diberi Nama Saraswati Pasandekan.
Setelah segala permohonan
selesai kepada Si Nuhun, kemudian kembali Sang Tiga ke Pura Luhur Batu Karu
bertemu dengan Sang Prabu ( Raja) dan begitu melihat utusan datang lalu Sang
Prabu menyapa dan bertanya :
“ Nah, sudah Paman buktikan segeralah
ceritakan pada Baginda ”
Baru Raja begitu akhirnya I
Pasek Bayan menceritakan penemuan dari awal sampai berakhir, bahwa
tempat-tempat tersebut semuanya baik ( utara ) kemudian tulisan yang mereka
buat diserahkan kepada Raja.
Berkatalah Raja kepada sang tiga :
“ Nah, kalau memang sudah saking pencipta
Tuhan Yang Maha Esa, maka Paman bertiga yang bisa bertanggung jawab ( Menek Tuun di Pelinggih Watu Batuaji ) dan
kalau sudah paman disana menetap, upacara yadnya (Piodalan) pada hari Buda
Keliwon Paang . Dan yang menjadi mangku Kahyangan Puseh, paman Pasek Bayan
supaya bertempat di ujung Desa ( Desa
Selat ) dan I Pasek Bendesa supaya Menjadi Mangku Dalem serta yang berkewajiban
mengadakan perbaikan pembangunan dia I Pasek Sangging”
Diceritakan di Desa Batuaji
sudah menjadi Desa, serta ada Pura dan para penyungsung sudah banyak lalu di
buat Kuburan yang di beri nama Semo Gede, kemudian para penyungsung membuat
Pura Dalem yang diberi nama Pura Dalem Agung dan tumbuh pohon bunut besaar yang
diberi nama Bunut Pajeng. Pohon yang berada di Pura Puseh dan Pura Dalem lama
kelamaan dijadikan ciri pada saat berpergian.
Demikian sekilas sejarah
timbulnya Desa Batuaji untuk dijadikan pengetahuan bagi kita sekalian dan mohon
maaf yang sebesar- besarnya jikalau ada kekeliruan.
Suksma, info-nya
BalasHapus